Posted on 00.14

Cita-Cita Boleh Setinggi Langit


Tema    : Cita-cita
Judul   : Cita-Cita Boleh Setinggi Langit



Kamu mau jadi apa hayo?



Di sebuah surau....
“Hidup di dunia memang hanya untuk sementara, tapi alangkah lebih baik lagi kalau yang sementara alias tidak kekal itu kita manfaatkan untuk sesuatu yang bermanfaat. Kamu mau sekolah ke luar negeri? Semua bisa dicapai. Berusahalah untuk mewujudkannya! Ingatlah anak-anakku, kita hidup di dunia hanya sekali seumur hidup.......”
Penggalan petuah Bu Nyai tersebut terus mendengung di telingaku. Ya Rabb bisakah aku memanfaatkan sisa hidupku di dunia ini?
***
“Ayo bangun! Bantu bude urus adik-adikmu!
“Iya Bude, sebentar lagi”
Ku tutup buku diary yang bersampul batik ini dengan perasaan lega karena dapat mencurahkan isi hati seharian kemarin. Aku bergegas menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Bude dan tiga anaknya. Sudah menjadi rutinitasku selama 1 tahun belakangan, menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil Bude. Sebenarnya aku sama sekali tak ada hubungan darah dengan Bude. Ya, karena aku adalah anak mantan majikan beliau. Majikan beliau, Ibuku telah meninggal 1 tahun yang lalu. Sementara Ayahku kecelakaan setelah mengalami depresi atas kepergian Ibu. Tinggallah aku yang terus menangis karena takut menjadi anak yatim piatu. Sebenarnya aku tak sendiri. Aku masih memiliki Abang yang duduk di bangku kelas 2 Madrasah Aliyah. Tapi karena almarhum Ayah semasa hidup berpesan pada kami terutama abang untuk tetap menomorsatukan pendidikan apapun yang terjadi. Akhirnya  masuklah abang ke sebuah pesantren di pinggaran kota.
***
Bude Tum adalah sosok yang tegas tapi tetap baik. Dengan status jandanya tak heran dia sering uring-uringan apalagi kalau bukan masalah ekonomi. Ketiga anak bude masih sekolah, jadi belum bisa membantu perekonomian Ibu mereka. Suatu ketika aku bertanya pada bude, “Anaknya bude banyak ya? Kecil-kecil pula. Apa nggak kerepotan tuh bude ngurusnya?” dengan terkikik bude menjawabnya “Nggaklah Rin. Banyak anak banyak pula rejekinya hahaha. Apalagi bude ditemeni belahan jiwa, Pakde Jo.” Seandainya aku merekam ucapannya saat itu lalu aku perdengarkan padanya saat ini mungkin beliau akan geram. Suami kebanggaannya pergi meninggalkan bude dan keluarga. Karena satu alasan: DEMI ISTRI BARU!. Tapi hal itu takkan pernah terjadi karena aku tak mungkin setega itu kepada orang sebaik bude.

Oh ya aku Rina, pelajar kelas satu di sebuah SMA Islam kota metropolitan. Semenjak menjadi yatim piatu aku tinggal di rumah Bude Tum. Sebagai balas jasa aku membantu bude mengurus rumah. Omong-omong walaupun aku yatim piatu aku tetap mempunyai cita-cita setinggi langit loh. Salah satunya sekolah di China. Kenapa China? Kenapa bukan Australia?  Aku pilih China karena China termasuk  negara maju di dunia. Selain itu China disebut juga dalam sebuah hadits, Utlubul Ilma walau bi shin. Artinya, tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China. Dan untuk mewujudkan cita-cita itu aku berusaha keras mulai sekarang. Cita-cita nggak dibatasi oleh status sosial maupun ekonomi. Cita-cita hak semua orang. Cita-cita adalah tujuan hidup. Orang akan berusaha dan bersaing untuk mewujudkannya. Cara pertama yang kulakukan adalah mencari info tentang beasiswa ke China. Info sudah ditangan. Kedua, lengkapi persyaratan. Syarat-syarat itu diantaranya tes TOEFL, tes kesehatan berikut tes kejiwaan, nilai raport yang rata-rata harus 8 dan yang terpenting menguasai bahasa mandarin min. Tingkat dasar. Kalau persyaratan sudah lengkap, tinggal berangkat!
***
Guang Zhou, 2011
Alhamdulillah dengan rahmat dan karuniaNYA aku bisa sampai di negeri China. Negeri Tirai Bambu. Dengan tekad dan keinginan kuat untuk meraih impian, cita-cita sudah di depan mata. Iza shadaqal azmu wadaha sabil, kalau benar kemauan, maka terbukalah jalan. Ayo teman jangan mau kalah denganku!

Tak terasa tiga tahun lamanya aku berada di negeri orang. Inilah saat nya aku membagi ilmu yang kudapat pada orang-orang pribumi Indonesia. Sebenarnya Jiǎngshī atau dosen memintaku untuk menjadi warga negara China. Tapi, dengan alasan nasionalisme aku menolak permintaan itu dengan halus. Dia mengerti. Tapi dia tetap merayuku. “Tinggallah disini beberapa tahun lagi, bekerjalah disini. Ku jamin hidupmu akan makmur, muridku.” “Terima kasih tapi kurasa harus pulang. Aku rindu kampung halaman.” “Baiklah jika sudah bulat keputusanmu. Tapi tidak menutup kemungkinan kan jika kamu kembali lagi kesini? Tanganku akan selalu terbuka untukmu maksudku untuk orang seperti anda.” Tawaran dan iming-imingnya begitu menarik, gumamku. Selama tiga tahun disini aku tak hanya sekolah, sambil menyelam minum air. Sambil sekolah aku pun bekerja. Banyak pengalaman yang aku dapat disini. Mulai pekerjaan rendahan seperti buruh cuci hingga pekerjaan kantoran di perusahan Advertising. Manis pahit baru benar-benar aku rasakan disini, saat jauh dengan orang-orang yang ku sayang. Aku benar-benar I’timad ala nafsi, mandiri bertumpu pada diri sendiri. Karena tak seorangpun sanak saudaraku yang tinggal di China. Teman memang ada tapi tak mungkin kalau menggantungkan hidup pada mereka. Dari hasil kerja sambilan tersebut aku bisa membeli beberapa tanah dan sawah di Jawa.

Apa yang kudapat sampai detik ini bukan murni sebuah keberuntungan alias kebetulan. Semua ini karena usaha keras yang tak pantang menyerah. Aku ingat betul sewaktu tetangga berbisik, “mana bisa anak itu sekolah jauh ke China. Dia kan sudah kere!” Fuh, tertawalah hai tetangga! Kere, miskin, atau apalah bukan penghalang bagi seseorang untuk meraih asa. Yang terpenting, doa dan usaha! Usaha tanpa doa itu NOL BESAR.
Read More

Cita-Cita Boleh Setinggi Langit


Tema    : Cita-cita
Judul   : Cita-Cita Boleh Setinggi Langit



Kamu mau jadi apa hayo?



Di sebuah surau....
“Hidup di dunia memang hanya untuk sementara, tapi alangkah lebih baik lagi kalau yang sementara alias tidak kekal itu kita manfaatkan untuk sesuatu yang bermanfaat. Kamu mau sekolah ke luar negeri? Semua bisa dicapai. Berusahalah untuk mewujudkannya! Ingatlah anak-anakku, kita hidup di dunia hanya sekali seumur hidup.......”
Penggalan petuah Bu Nyai tersebut terus mendengung di telingaku. Ya Rabb bisakah aku memanfaatkan sisa hidupku di dunia ini?
***
“Ayo bangun! Bantu bude urus adik-adikmu!
“Iya Bude, sebentar lagi”
Ku tutup buku diary yang bersampul batik ini dengan perasaan lega karena dapat mencurahkan isi hati seharian kemarin. Aku bergegas menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Bude dan tiga anaknya. Sudah menjadi rutinitasku selama 1 tahun belakangan, menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil Bude. Sebenarnya aku sama sekali tak ada hubungan darah dengan Bude. Ya, karena aku adalah anak mantan majikan beliau. Majikan beliau, Ibuku telah meninggal 1 tahun yang lalu. Sementara Ayahku kecelakaan setelah mengalami depresi atas kepergian Ibu. Tinggallah aku yang terus menangis karena takut menjadi anak yatim piatu. Sebenarnya aku tak sendiri. Aku masih memiliki Abang yang duduk di bangku kelas 2 Madrasah Aliyah. Tapi karena almarhum Ayah semasa hidup berpesan pada kami terutama abang untuk tetap menomorsatukan pendidikan apapun yang terjadi. Akhirnya  masuklah abang ke sebuah pesantren di pinggaran kota.
***
Bude Tum adalah sosok yang tegas tapi tetap baik. Dengan status jandanya tak heran dia sering uring-uringan apalagi kalau bukan masalah ekonomi. Ketiga anak bude masih sekolah, jadi belum bisa membantu perekonomian Ibu mereka. Suatu ketika aku bertanya pada bude, “Anaknya bude banyak ya? Kecil-kecil pula. Apa nggak kerepotan tuh bude ngurusnya?” dengan terkikik bude menjawabnya “Nggaklah Rin. Banyak anak banyak pula rejekinya hahaha. Apalagi bude ditemeni belahan jiwa, Pakde Jo.” Seandainya aku merekam ucapannya saat itu lalu aku perdengarkan padanya saat ini mungkin beliau akan geram. Suami kebanggaannya pergi meninggalkan bude dan keluarga. Karena satu alasan: DEMI ISTRI BARU!. Tapi hal itu takkan pernah terjadi karena aku tak mungkin setega itu kepada orang sebaik bude.

Oh ya aku Rina, pelajar kelas satu di sebuah SMA Islam kota metropolitan. Semenjak menjadi yatim piatu aku tinggal di rumah Bude Tum. Sebagai balas jasa aku membantu bude mengurus rumah. Omong-omong walaupun aku yatim piatu aku tetap mempunyai cita-cita setinggi langit loh. Salah satunya sekolah di China. Kenapa China? Kenapa bukan Australia?  Aku pilih China karena China termasuk  negara maju di dunia. Selain itu China disebut juga dalam sebuah hadits, Utlubul Ilma walau bi shin. Artinya, tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China. Dan untuk mewujudkan cita-cita itu aku berusaha keras mulai sekarang. Cita-cita nggak dibatasi oleh status sosial maupun ekonomi. Cita-cita hak semua orang. Cita-cita adalah tujuan hidup. Orang akan berusaha dan bersaing untuk mewujudkannya. Cara pertama yang kulakukan adalah mencari info tentang beasiswa ke China. Info sudah ditangan. Kedua, lengkapi persyaratan. Syarat-syarat itu diantaranya tes TOEFL, tes kesehatan berikut tes kejiwaan, nilai raport yang rata-rata harus 8 dan yang terpenting menguasai bahasa mandarin min. Tingkat dasar. Kalau persyaratan sudah lengkap, tinggal berangkat!
***
Guang Zhou, 2011
Alhamdulillah dengan rahmat dan karuniaNYA aku bisa sampai di negeri China. Negeri Tirai Bambu. Dengan tekad dan keinginan kuat untuk meraih impian, cita-cita sudah di depan mata. Iza shadaqal azmu wadaha sabil, kalau benar kemauan, maka terbukalah jalan. Ayo teman jangan mau kalah denganku!

Tak terasa tiga tahun lamanya aku berada di negeri orang. Inilah saat nya aku membagi ilmu yang kudapat pada orang-orang pribumi Indonesia. Sebenarnya Jiǎngshī atau dosen memintaku untuk menjadi warga negara China. Tapi, dengan alasan nasionalisme aku menolak permintaan itu dengan halus. Dia mengerti. Tapi dia tetap merayuku. “Tinggallah disini beberapa tahun lagi, bekerjalah disini. Ku jamin hidupmu akan makmur, muridku.” “Terima kasih tapi kurasa harus pulang. Aku rindu kampung halaman.” “Baiklah jika sudah bulat keputusanmu. Tapi tidak menutup kemungkinan kan jika kamu kembali lagi kesini? Tanganku akan selalu terbuka untukmu maksudku untuk orang seperti anda.” Tawaran dan iming-imingnya begitu menarik, gumamku. Selama tiga tahun disini aku tak hanya sekolah, sambil menyelam minum air. Sambil sekolah aku pun bekerja. Banyak pengalaman yang aku dapat disini. Mulai pekerjaan rendahan seperti buruh cuci hingga pekerjaan kantoran di perusahan Advertising. Manis pahit baru benar-benar aku rasakan disini, saat jauh dengan orang-orang yang ku sayang. Aku benar-benar I’timad ala nafsi, mandiri bertumpu pada diri sendiri. Karena tak seorangpun sanak saudaraku yang tinggal di China. Teman memang ada tapi tak mungkin kalau menggantungkan hidup pada mereka. Dari hasil kerja sambilan tersebut aku bisa membeli beberapa tanah dan sawah di Jawa.

Apa yang kudapat sampai detik ini bukan murni sebuah keberuntungan alias kebetulan. Semua ini karena usaha keras yang tak pantang menyerah. Aku ingat betul sewaktu tetangga berbisik, “mana bisa anak itu sekolah jauh ke China. Dia kan sudah kere!” Fuh, tertawalah hai tetangga! Kere, miskin, atau apalah bukan penghalang bagi seseorang untuk meraih asa. Yang terpenting, doa dan usaha! Usaha tanpa doa itu NOL BESAR.