Tema : Cita-cita
Judul : Cita-Cita Boleh Setinggi Langit
Di sebuah surau....
“Hidup
di dunia memang hanya untuk sementara, tapi alangkah lebih baik lagi kalau yang
sementara alias tidak kekal itu kita manfaatkan untuk sesuatu yang bermanfaat.
Kamu mau sekolah ke luar negeri? Semua bisa dicapai. Berusahalah untuk
mewujudkannya! Ingatlah anak-anakku, kita hidup di dunia hanya sekali seumur
hidup.......”
Penggalan
petuah Bu Nyai tersebut terus mendengung di telingaku. Ya Rabb bisakah aku
memanfaatkan sisa hidupku di dunia ini?
***
“Ayo
bangun! Bantu bude urus adik-adikmu!
“Iya
Bude, sebentar lagi”
Ku tutup buku diary yang bersampul
batik ini dengan perasaan lega karena dapat mencurahkan isi hati seharian
kemarin. Aku bergegas menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Bude dan tiga
anaknya. Sudah menjadi rutinitasku selama 1 tahun belakangan, menyiapkan
sarapan untuk keluarga kecil Bude. Sebenarnya aku sama sekali tak ada hubungan
darah dengan Bude. Ya, karena aku adalah anak mantan majikan beliau. Majikan
beliau, Ibuku telah meninggal 1 tahun yang lalu. Sementara Ayahku kecelakaan
setelah mengalami depresi atas kepergian Ibu. Tinggallah aku yang terus
menangis karena takut menjadi anak yatim piatu. Sebenarnya aku tak sendiri. Aku
masih memiliki Abang yang duduk di bangku kelas 2 Madrasah Aliyah. Tapi karena
almarhum Ayah semasa hidup berpesan pada kami terutama abang untuk tetap
menomorsatukan pendidikan apapun yang terjadi. Akhirnya masuklah abang ke sebuah pesantren di
pinggaran kota.
***
Bude Tum adalah sosok yang tegas
tapi tetap baik. Dengan status jandanya tak heran dia sering uring-uringan
apalagi kalau bukan masalah ekonomi. Ketiga anak bude masih sekolah, jadi belum
bisa membantu perekonomian Ibu mereka. Suatu ketika aku bertanya pada bude,
“Anaknya bude banyak ya? Kecil-kecil pula. Apa nggak kerepotan tuh bude
ngurusnya?” dengan terkikik bude menjawabnya “Nggaklah Rin. Banyak anak banyak
pula rejekinya hahaha. Apalagi bude ditemeni belahan jiwa, Pakde Jo.”
Seandainya aku merekam ucapannya saat itu lalu aku perdengarkan padanya saat
ini mungkin beliau akan geram. Suami kebanggaannya pergi meninggalkan bude dan
keluarga. Karena satu alasan: DEMI ISTRI BARU!. Tapi hal itu takkan pernah
terjadi karena aku tak mungkin setega itu kepada orang sebaik bude.
Oh ya aku Rina, pelajar kelas satu
di sebuah SMA Islam kota metropolitan. Semenjak menjadi yatim piatu aku tinggal
di rumah Bude Tum. Sebagai balas jasa aku membantu bude mengurus rumah. Omong-omong
walaupun aku yatim piatu aku tetap mempunyai cita-cita setinggi langit loh.
Salah satunya sekolah di China. Kenapa China? Kenapa bukan Australia? Aku pilih China karena China termasuk negara maju di dunia. Selain itu China disebut
juga dalam sebuah hadits, Utlubul Ilma walau bi shin. Artinya, tuntutlah
ilmu walaupun sampai ke negeri China. Dan untuk mewujudkan cita-cita itu
aku berusaha keras mulai sekarang. Cita-cita nggak dibatasi oleh status sosial
maupun ekonomi. Cita-cita hak semua orang. Cita-cita adalah tujuan hidup. Orang
akan berusaha dan bersaing untuk mewujudkannya. Cara pertama yang kulakukan
adalah mencari info tentang beasiswa ke China. Info sudah ditangan. Kedua,
lengkapi persyaratan. Syarat-syarat itu diantaranya tes TOEFL, tes kesehatan
berikut tes kejiwaan, nilai raport yang rata-rata harus 8 dan yang terpenting
menguasai bahasa mandarin min. Tingkat dasar. Kalau persyaratan sudah lengkap,
tinggal berangkat!
***
Guang
Zhou, 2011
Alhamdulillah dengan rahmat dan
karuniaNYA aku bisa sampai di negeri China. Negeri Tirai Bambu. Dengan tekad
dan keinginan kuat untuk meraih impian, cita-cita sudah di depan mata. Iza
shadaqal azmu wadaha sabil, kalau benar kemauan, maka terbukalah jalan. Ayo
teman jangan mau kalah denganku!
Tak terasa tiga tahun lamanya aku
berada di negeri orang. Inilah saat nya aku membagi ilmu yang kudapat pada
orang-orang pribumi Indonesia. Sebenarnya Jiǎngshī atau dosen memintaku untuk menjadi warga
negara China. Tapi, dengan alasan nasionalisme aku menolak permintaan itu
dengan halus. Dia mengerti. Tapi dia tetap merayuku. “Tinggallah disini
beberapa tahun lagi, bekerjalah disini. Ku jamin hidupmu akan makmur, muridku.”
“Terima kasih tapi kurasa harus pulang. Aku rindu kampung halaman.” “Baiklah
jika sudah bulat keputusanmu. Tapi tidak menutup kemungkinan kan jika kamu
kembali lagi kesini? Tanganku akan selalu terbuka untukmu maksudku untuk orang
seperti anda.” Tawaran dan iming-imingnya begitu menarik, gumamku. Selama tiga
tahun disini aku tak hanya sekolah, sambil menyelam minum air. Sambil
sekolah aku pun bekerja. Banyak pengalaman yang aku dapat disini. Mulai
pekerjaan rendahan seperti buruh cuci hingga pekerjaan kantoran di perusahan Advertising.
Manis pahit baru benar-benar aku rasakan disini, saat jauh dengan orang-orang
yang ku sayang. Aku benar-benar I’timad ala nafsi, mandiri bertumpu pada
diri sendiri. Karena tak seorangpun sanak saudaraku yang tinggal di China.
Teman memang ada tapi tak mungkin kalau menggantungkan hidup pada mereka. Dari
hasil kerja sambilan tersebut aku bisa membeli beberapa tanah dan sawah di
Jawa.
Apa yang kudapat sampai detik ini
bukan murni sebuah keberuntungan alias kebetulan. Semua ini karena usaha keras
yang tak pantang menyerah. Aku ingat betul sewaktu tetangga berbisik, “mana
bisa anak itu sekolah jauh ke China. Dia kan sudah kere!” Fuh, tertawalah hai
tetangga! Kere, miskin, atau apalah bukan penghalang bagi seseorang untuk
meraih asa. Yang terpenting, doa dan usaha! Usaha tanpa doa itu NOL BESAR.