Posted on 21.03

Clining Service Sekolah



Nama Narasumber             : Pak Budi

                   Banyaknya jenis pekerjaan di dunia ini ternyata belum menjamin kemakmuran rakyatnya. Ternyata tak semua orang yang berpendidikan tinggi dapat menempati posisi tertinggi pula dalam hal pekerjaan. Semua itu bergantung nasib, karena hidup itu adalah sebuah pilihan.

Pewawancara           : “Assalamu’alaikum Wr. Wb.”
Narasumber             : “Wa’alaikumussalam Wr. Wb.”
Pewawancara           : “Maaf mengganggu waktu bapak. Kami ingin mewawancarai bapak,
Kebetulan kami mendapat tugas Bahasa Indonesia. Apakah bapak bersedia?”
                             : “Oh ya boleh silahkan. Wawancara tentang apa ya nak?”
Pewawancara           : “Terima kasih sebelumnya, kami akan mewawancarai bapak
    seputar profesi bapak saat ini?”
Narasumber             : “Oh ya..”
Pewawancara           : “Siapa nama bapak?”
Narasumber             : “Saya biasa di panggil Pak Bud alias Pak Budi.”
Pewawancara           : “Apa pekerjaan bapak?”
Narasumber             : “Saya bekerja sebagai petugas kebersihan di SMA Khadijah
    Surabaya tapi kalau anak sini bilang sih, Clining Service alias CS’e
   Khadijah.”
Pewawancara           : “Bapak bekerja disini sudah berapa lama ya?”
Narasumber             : “Saya mulai kerja tahun 2006. Kalau dihitung sampai tahun 2011
    berarti kurang lebih 5 tahunan lah.”
Pewawancara           : “Oh ya, kenapa bapak lebih memilih pekerjaan sebagai clining
    service?”
Narasumber             : “Oh jadi begini. Waktu itu kan saya butuh pekerjaan terus
    kebetulan ada lowongan pekerjaan clining service disini. Ya sudah
    saya coba dan saya pikir menjadi clining service itu tidak terikat
   oleh waktu.”
Pewawancara           : “Menurut bapak, lingkungan SMA Khadijah itu seperti apa?”
                             : Lingkungan disini islami, nyaman dan orangnya baik-baik semua.”
Pewawancara           : “Suka duka menjadi clenaning service?”
Narasumber             : “Wah banyak mbak. Tapi lebih banyak sukanya sih. Saya suka
     ketika ada anak ulangtahun. Karena biasanya saya kebagian kue,
    makanan, dan juga minuman. Hehe...”
Pewawancara           : “Lalu apa dukanya?”
Narasumber             : “Dukanya ya itu kelas jadi berantakan dan kotor semua. Nggak
    senengnya lagi kalau jam pulang ituloh mbak, anak-anak susah
    disuruh pulang. Selalu ada saja alasannya untuk tetap tinggal di
    kelas. Akibatnya kan jam pulang kerja saya telat.”
Pewawancara           : “Memangnya bapak mulai kerja disini dari jam berapa dan sampai
   jam berapa?”
Narasumber             : “Jam setengah 6 pagi sampai setengah 5 sore.
Pewawancara           : “Jam berapa bapak dan kawan-kawan beristirahat?”
Narasumber             : “Jam 12 sampai 1 siang.”
Pewawancara           : “Fasilitas disini apa saja pak?”
Narasumber             : “Disini itu semua CS dapat makan siang dan kamar untuk istirahat.”
Pewawancara           : “Ngomong-ngomong, bagaimana keluarga bapak?”
Narasumber             : “Oh itu. Saya sudah punya istri dan dua anak laki-laki.”
Pewawancara           : “Harapan bapak untuk kedua anak bapak bagaimana?”
Narasumber             : “Ya sebagai orangtua, saya ingin anak saya lebih sukses dari saya.
    Nggak jadi CS dan minimal jadi PNS lah.”
Pewawancara           : “Amin. Semoga harapan bapak terwujud. Terima kasih atas
    kesediaan bapak untuk kami wawancarai.”
Narasumber             : “Ya sama-sama.”

                   Kesimpulan yang bisa kita ambil dari wawancara singkat ini adalah Bagaimana suatu pekerjaan yang apabila kita menyenangi hal tersebut kita akan giat dan semangat menjalankan pekerjaan itu. Walaupun hal itu nasib. Tapi nasib bisa diubah apabila kita berusaha lebih keras lagi dan tak lupa berdoa kepada YME. Dan bagaimana perjuangan seorang kepala keluarga dalam membangun keluarganya.
Read More

Posted on 20.45

Fiqih: Pernikahan


NIKAH ???
Rukun Nikah
 
Rukun adalah bagian dari sesuatu, sedang sesuatu itu takkan ada tanpanya.Dengan demikian, rukun perkawinan adalah ijab dan kabul yang muncul dari keduanya berupa ungkapan kata (shighah). Karena dari shighah ini secara langsung akan menyebabkan timbulnya sisa rukun yang lain.
o Ijab: ucapan yang terlebih dahulu terucap dari mulut salah satu kedua belah pihak untuk menunjukkan keinginannya membangun ikatan.
o Qabul: apa yang kemudian terucap dari pihak lain yang menunjukkan kerelaan/ kesepakatan/ setuju atas apa yang tela siwajibkan oleh pihak pertama.
Dari shighah ijab dan qabul, kemudian timbul sisa rukun lainnya, yaitu:
o Adanya kedua mempelai (calon suami dan calon istri)
o Wali
o Saksi
Shighah akad bisa diwakilkan oleh dua orang yang telah disepakati oleh syariat, yaitu:
o Kedua belah pihak adalah asli: suami dan istri
o Kedua belah pihak adalah wali: wali suami dan wali istri
o Kedua belah pihak adalah wakil: wakil suami dan wakil istri
o Salah satu pihak asli dan pihak lain wali
o Salah satu pihak asli dan pihak lain wakil
o Salah satu pihak wali dan pihak lain wakil
Syarat-syarat Nikah
Akad pernikahan memiliki syarat-syarat syar’i, yaitu
terdiri dari 4 syarat:
o Syarat-syarat akad
o Syarat-syarat sah nikah
o Syarat-syarat pelaksana akad (penghulu)
o Syarat-syarat luzum (keharusan)
1. Syarat-syarat Akad
a). Syarat-syarat shighah: lafal bermakna ganda, majelis ijab qabul harus bersatu, kesepakatan kabul dengan ijab, menggunakan ucapan ringkas tanpa menggantukan ijab dengan lafal yang menunjukkan masa depan.
b). Syarat-syarat kedua orang yang berakad:
± keduanya berakal dan mumayyiz
± keduanya mendengar ijab dan kabul , serta memahami maksud dari ijab dan qabul adalah untuk membangun mahligai pernikahan, karena intinya kerelaan kedua belah pihak.
c). Syarat-syarat kedua mempelai:
o suami disyaratkan seorang muslim
  • istri disyaratkan bukan wanita yang haram untuk dinikahi, seperti; ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dari bapak dan dari ibunya.
o disyaratkan menikahi wanita yang telah dipastikan kewanitaannya, bukan waria.
2. Syarat-syarat Sah Nikah
a). Calon istri tidak diharamkan menikah dengan calon suami
b). Kesaksian atas pernikahan
³ keharusan adanya saksi
³ waktu kesaksian, yaitu kesaksian arus ada saat pembuatan akad
³ Hikmah adanya kesaksian
Pernikahan mengandung arti penting dalam islam, karena dapat memberi kemaslahatan dunia dan akhirat. Dengan demikian ia harus diumumkan dan tidak disembunyikan. Dan cara untuk mengumumkannya adalah dengan menyaksikannya.
³ Syarat-syarat saksi
¥ berakal, baligh, dan merdeka
¥ para saksi mendengar dan memahami ucapan kedua orang yang berakad
¥ jumlah saksi, yatu dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Q. S. Al-Baqoroh : 282
¥ Islam
¥ adil
c). Lafal (Shighah) akad perkawinan bersifat kekal
Demi keabsahan akad nikah, shighah disyaratkan untuk selamanya (kekal) dan tidak bertempo (nikah mut’ah).
3. Syarat-syarat Pelaksana Akad (Penghulu)
Maksudnya ialah orang yang menjadi pemimpin dalam akad adalah orang yang berhak melakukannya.
a). Setiap suami istri berakal, baligh, dan merdeka
b). Setiap orang yang berakad harus memiliki sifat syar’I : asli, wakil, atau wali dari salah satu kedua mempelai.
4. Syarat-syarat Luzum (Keharusan)
a). Orang yang mengawinkan orang yang tidak memiliki kemampuan adalah orang yang dikenal dapat memilihkan pasangan yang baik, seperti keluarga atau kerabat dekat.
b). Sang suami harus setara dengan istri
c). Mas kawin harus sebesar mas kawin yang sepatutnya atau semampunya.
d). Tidak ada penipuan mengenai kemampuan sang suami.
e).Calon suami harus bebas dari sifat-sifat buruk yang menyebabkan diperbolehkannya tuntutan perpisahan (perceraian).





Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.
Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mu’tamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)
Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan syarat ini.
Rukun Nikah
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya:
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)
Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:
Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)
Siapakah Wali dalam Pernikahan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib)
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.
Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan:
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.
Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Syarat keempat: Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/284)
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai berikut:
Pasal 24
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Footnote:
1 Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka.
2 Lafadz inkah yaitu ankahtuka.
3 Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan kerabat kita yang diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu.
4 Adapun pelaksanaannya di Indonesia, lihat pada salinan yang dinukilkan dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, buku pertama tentang pernikahan, pasal 23.
(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 39/1429H/2008, kategori: Kajian Utama, hal. 23-27. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=633)

Read More

Posted on 20.06

Hari Kartini


Hari Kartini

Perempuan Kini Luar Biaa

Mendengar kata perempuan pasti dalam otak langsung terbesit pikiran, lawan dari laki-laki, seorang ibu rumah tangga, orang yang mengurus dapur, orang yang mempunyai anak dan membesarkan anaknya, orang yang berdiam diri di rumah menunggu aliran uang dari laki-laki (suami) dan banyak lagi. Tak ada yang salah dari persepsi diatas, tetapi masihkah banyak perempuan yang 100% masih seperti itu?

Ketika berjalan di mall apa yang kita temui? Perempuan. Wanita yang bekerja. Wanita karier yang jumlahnya banyak sekali. Entah dia sebagai seorang SPG Parfum atau pemilik toko pakaian atau pegawai toko perhiasan atau bahkan sebagai penjual minuman dan makanan ringan disana.

Ketika belanja di pasar apa yang kita temui? Lagi-lagi perempuan. Perempuan yang menjajakan dagangannya entah itu daging, sayuran atau sekedar berjualan daun pisang. Masih banyak lagi tempat-tempat dimana kita menemui perempuan-perempuan hebat yang mencari uang demi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya.

Ketika berada di jalan apa yang kita lihat? Perempuan. Perempuan yang bekerja sebagai supir becak atau supir bemo. Meskipun masih jarang, sih.



Tak hanya di  bidang ekonomi, perempuan-perempuan jaman sekarang pun mampu menjalani pendidikan yang tinggi yang setara dengan laki-laki, yaitu menjadi seorang professor. Bahkan dengan pengetahuan yang luas serta sifat pemberani, perempuan mampu memimpin suatu negeri, bukan menjadi isteri seorang presiden tetapi menjadi Ibu presiden yang sesungguhnya, seperti Ibu Megawati Soekarno Putri. Beliaulah salah satu contoh perempuan yang tegas, tangguh, dan berpengetahuan luas.

Itulah perempuan jaman sekarang. Perempuan yang tak hanya mengandalkan kecantikan diri dan kelemah lembutan tutur katanya untuk mendapatkan sekeping uang. Tapi perempuan yang sekarang adalah perempuan yang tegas, tangguh dan berpengetahuan luas. Dan yang jelas mempunyai pemikiran “Perempuan bukanlah orang yang lemah, perempuan mampu  lebih unggul daripada laki-laki” tentu juga tidak ada keinginan untuk mengungguli seorang laki-laki dalam menjadi imam keluarga.

Perempuan-perempuan itulah yang menjadi sosok Kartini masa sekarang. Sosok yang patut dicontoh di era globalisasi sekarang. Karena kita sebagai perempuan tidak boleh pasif, harus mempunyai inisiatif mempergunakan ilmu yang  dimiliki untuk taraf hidup yang lebih baik. Sayangkan, kalau punya banyak ilmu tapi tak dimanfaatkan?

Contoh-contoh seperti diatas tentu tak luput dari peran R.A Kartini kita. Tokoh yang terkenal dengan buku “Habislah Gelap terbitlah Terang” ini mampu menginspirasi jutaan perempuan masa kini. Betapa tidak, berkat keberanian yang didorong dengan perasaan ketikadilan antara perempuan dan laki-laki di masa itu, dimana laki-laki bisa melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya sementara perempuan tidak. Ia hanya sekolah sampai tamat SD saja lalu harus dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan dan menjadi pengurus suami dan anak dirumah. Sssst... di 2012 ini siapa yang mau seperti itu?

 Atas dasar hal itu ibu Kartini maju dan mulai melakukan tindakan-tindakan yang menghasilkan emansipasi wanita atau persamaan derajat antara perempuan dan laki-laki. Tindakannya tersebut berhasil dan mampu mengubah persepsi orangtua pada zaman itu. Mereka (orangtua) tak lagi memaksa putri mereka untuk menikah dini. Tetapi mereka membebaskan putrinya mendapatkan pendidikan setingi-tingginya.

 Selamat hari Kartini untuk seluruh perempuan di Indonesia!.


-Farah Meutia_SMA Khadijah Surabaya-
Read More

Clining Service Sekolah



Nama Narasumber             : Pak Budi

                   Banyaknya jenis pekerjaan di dunia ini ternyata belum menjamin kemakmuran rakyatnya. Ternyata tak semua orang yang berpendidikan tinggi dapat menempati posisi tertinggi pula dalam hal pekerjaan. Semua itu bergantung nasib, karena hidup itu adalah sebuah pilihan.

Pewawancara           : “Assalamu’alaikum Wr. Wb.”
Narasumber             : “Wa’alaikumussalam Wr. Wb.”
Pewawancara           : “Maaf mengganggu waktu bapak. Kami ingin mewawancarai bapak,
Kebetulan kami mendapat tugas Bahasa Indonesia. Apakah bapak bersedia?”
                             : “Oh ya boleh silahkan. Wawancara tentang apa ya nak?”
Pewawancara           : “Terima kasih sebelumnya, kami akan mewawancarai bapak
    seputar profesi bapak saat ini?”
Narasumber             : “Oh ya..”
Pewawancara           : “Siapa nama bapak?”
Narasumber             : “Saya biasa di panggil Pak Bud alias Pak Budi.”
Pewawancara           : “Apa pekerjaan bapak?”
Narasumber             : “Saya bekerja sebagai petugas kebersihan di SMA Khadijah
    Surabaya tapi kalau anak sini bilang sih, Clining Service alias CS’e
   Khadijah.”
Pewawancara           : “Bapak bekerja disini sudah berapa lama ya?”
Narasumber             : “Saya mulai kerja tahun 2006. Kalau dihitung sampai tahun 2011
    berarti kurang lebih 5 tahunan lah.”
Pewawancara           : “Oh ya, kenapa bapak lebih memilih pekerjaan sebagai clining
    service?”
Narasumber             : “Oh jadi begini. Waktu itu kan saya butuh pekerjaan terus
    kebetulan ada lowongan pekerjaan clining service disini. Ya sudah
    saya coba dan saya pikir menjadi clining service itu tidak terikat
   oleh waktu.”
Pewawancara           : “Menurut bapak, lingkungan SMA Khadijah itu seperti apa?”
                             : Lingkungan disini islami, nyaman dan orangnya baik-baik semua.”
Pewawancara           : “Suka duka menjadi clenaning service?”
Narasumber             : “Wah banyak mbak. Tapi lebih banyak sukanya sih. Saya suka
     ketika ada anak ulangtahun. Karena biasanya saya kebagian kue,
    makanan, dan juga minuman. Hehe...”
Pewawancara           : “Lalu apa dukanya?”
Narasumber             : “Dukanya ya itu kelas jadi berantakan dan kotor semua. Nggak
    senengnya lagi kalau jam pulang ituloh mbak, anak-anak susah
    disuruh pulang. Selalu ada saja alasannya untuk tetap tinggal di
    kelas. Akibatnya kan jam pulang kerja saya telat.”
Pewawancara           : “Memangnya bapak mulai kerja disini dari jam berapa dan sampai
   jam berapa?”
Narasumber             : “Jam setengah 6 pagi sampai setengah 5 sore.
Pewawancara           : “Jam berapa bapak dan kawan-kawan beristirahat?”
Narasumber             : “Jam 12 sampai 1 siang.”
Pewawancara           : “Fasilitas disini apa saja pak?”
Narasumber             : “Disini itu semua CS dapat makan siang dan kamar untuk istirahat.”
Pewawancara           : “Ngomong-ngomong, bagaimana keluarga bapak?”
Narasumber             : “Oh itu. Saya sudah punya istri dan dua anak laki-laki.”
Pewawancara           : “Harapan bapak untuk kedua anak bapak bagaimana?”
Narasumber             : “Ya sebagai orangtua, saya ingin anak saya lebih sukses dari saya.
    Nggak jadi CS dan minimal jadi PNS lah.”
Pewawancara           : “Amin. Semoga harapan bapak terwujud. Terima kasih atas
    kesediaan bapak untuk kami wawancarai.”
Narasumber             : “Ya sama-sama.”

                   Kesimpulan yang bisa kita ambil dari wawancara singkat ini adalah Bagaimana suatu pekerjaan yang apabila kita menyenangi hal tersebut kita akan giat dan semangat menjalankan pekerjaan itu. Walaupun hal itu nasib. Tapi nasib bisa diubah apabila kita berusaha lebih keras lagi dan tak lupa berdoa kepada YME. Dan bagaimana perjuangan seorang kepala keluarga dalam membangun keluarganya.

Fiqih: Pernikahan


NIKAH ???
Rukun Nikah
 
Rukun adalah bagian dari sesuatu, sedang sesuatu itu takkan ada tanpanya.Dengan demikian, rukun perkawinan adalah ijab dan kabul yang muncul dari keduanya berupa ungkapan kata (shighah). Karena dari shighah ini secara langsung akan menyebabkan timbulnya sisa rukun yang lain.
o Ijab: ucapan yang terlebih dahulu terucap dari mulut salah satu kedua belah pihak untuk menunjukkan keinginannya membangun ikatan.
o Qabul: apa yang kemudian terucap dari pihak lain yang menunjukkan kerelaan/ kesepakatan/ setuju atas apa yang tela siwajibkan oleh pihak pertama.
Dari shighah ijab dan qabul, kemudian timbul sisa rukun lainnya, yaitu:
o Adanya kedua mempelai (calon suami dan calon istri)
o Wali
o Saksi
Shighah akad bisa diwakilkan oleh dua orang yang telah disepakati oleh syariat, yaitu:
o Kedua belah pihak adalah asli: suami dan istri
o Kedua belah pihak adalah wali: wali suami dan wali istri
o Kedua belah pihak adalah wakil: wakil suami dan wakil istri
o Salah satu pihak asli dan pihak lain wali
o Salah satu pihak asli dan pihak lain wakil
o Salah satu pihak wali dan pihak lain wakil
Syarat-syarat Nikah
Akad pernikahan memiliki syarat-syarat syar’i, yaitu
terdiri dari 4 syarat:
o Syarat-syarat akad
o Syarat-syarat sah nikah
o Syarat-syarat pelaksana akad (penghulu)
o Syarat-syarat luzum (keharusan)
1. Syarat-syarat Akad
a). Syarat-syarat shighah: lafal bermakna ganda, majelis ijab qabul harus bersatu, kesepakatan kabul dengan ijab, menggunakan ucapan ringkas tanpa menggantukan ijab dengan lafal yang menunjukkan masa depan.
b). Syarat-syarat kedua orang yang berakad:
± keduanya berakal dan mumayyiz
± keduanya mendengar ijab dan kabul , serta memahami maksud dari ijab dan qabul adalah untuk membangun mahligai pernikahan, karena intinya kerelaan kedua belah pihak.
c). Syarat-syarat kedua mempelai:
o suami disyaratkan seorang muslim
  • istri disyaratkan bukan wanita yang haram untuk dinikahi, seperti; ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dari bapak dan dari ibunya.
o disyaratkan menikahi wanita yang telah dipastikan kewanitaannya, bukan waria.
2. Syarat-syarat Sah Nikah
a). Calon istri tidak diharamkan menikah dengan calon suami
b). Kesaksian atas pernikahan
³ keharusan adanya saksi
³ waktu kesaksian, yaitu kesaksian arus ada saat pembuatan akad
³ Hikmah adanya kesaksian
Pernikahan mengandung arti penting dalam islam, karena dapat memberi kemaslahatan dunia dan akhirat. Dengan demikian ia harus diumumkan dan tidak disembunyikan. Dan cara untuk mengumumkannya adalah dengan menyaksikannya.
³ Syarat-syarat saksi
¥ berakal, baligh, dan merdeka
¥ para saksi mendengar dan memahami ucapan kedua orang yang berakad
¥ jumlah saksi, yatu dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Q. S. Al-Baqoroh : 282
¥ Islam
¥ adil
c). Lafal (Shighah) akad perkawinan bersifat kekal
Demi keabsahan akad nikah, shighah disyaratkan untuk selamanya (kekal) dan tidak bertempo (nikah mut’ah).
3. Syarat-syarat Pelaksana Akad (Penghulu)
Maksudnya ialah orang yang menjadi pemimpin dalam akad adalah orang yang berhak melakukannya.
a). Setiap suami istri berakal, baligh, dan merdeka
b). Setiap orang yang berakad harus memiliki sifat syar’I : asli, wakil, atau wali dari salah satu kedua mempelai.
4. Syarat-syarat Luzum (Keharusan)
a). Orang yang mengawinkan orang yang tidak memiliki kemampuan adalah orang yang dikenal dapat memilihkan pasangan yang baik, seperti keluarga atau kerabat dekat.
b). Sang suami harus setara dengan istri
c). Mas kawin harus sebesar mas kawin yang sepatutnya atau semampunya.
d). Tidak ada penipuan mengenai kemampuan sang suami.
e).Calon suami harus bebas dari sifat-sifat buruk yang menyebabkan diperbolehkannya tuntutan perpisahan (perceraian).





Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.
Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mu’tamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)
Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan syarat ini.
Rukun Nikah
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya:
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)
Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:
Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)
Siapakah Wali dalam Pernikahan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib)
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.
Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan:
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.
Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Syarat keempat: Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/284)
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai berikut:
Pasal 24
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Footnote:
1 Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka.
2 Lafadz inkah yaitu ankahtuka.
3 Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan kerabat kita yang diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu.
4 Adapun pelaksanaannya di Indonesia, lihat pada salinan yang dinukilkan dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, buku pertama tentang pernikahan, pasal 23.
(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 39/1429H/2008, kategori: Kajian Utama, hal. 23-27. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=633)

Hari Kartini


Hari Kartini

Perempuan Kini Luar Biaa

Mendengar kata perempuan pasti dalam otak langsung terbesit pikiran, lawan dari laki-laki, seorang ibu rumah tangga, orang yang mengurus dapur, orang yang mempunyai anak dan membesarkan anaknya, orang yang berdiam diri di rumah menunggu aliran uang dari laki-laki (suami) dan banyak lagi. Tak ada yang salah dari persepsi diatas, tetapi masihkah banyak perempuan yang 100% masih seperti itu?

Ketika berjalan di mall apa yang kita temui? Perempuan. Wanita yang bekerja. Wanita karier yang jumlahnya banyak sekali. Entah dia sebagai seorang SPG Parfum atau pemilik toko pakaian atau pegawai toko perhiasan atau bahkan sebagai penjual minuman dan makanan ringan disana.

Ketika belanja di pasar apa yang kita temui? Lagi-lagi perempuan. Perempuan yang menjajakan dagangannya entah itu daging, sayuran atau sekedar berjualan daun pisang. Masih banyak lagi tempat-tempat dimana kita menemui perempuan-perempuan hebat yang mencari uang demi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya.

Ketika berada di jalan apa yang kita lihat? Perempuan. Perempuan yang bekerja sebagai supir becak atau supir bemo. Meskipun masih jarang, sih.



Tak hanya di  bidang ekonomi, perempuan-perempuan jaman sekarang pun mampu menjalani pendidikan yang tinggi yang setara dengan laki-laki, yaitu menjadi seorang professor. Bahkan dengan pengetahuan yang luas serta sifat pemberani, perempuan mampu memimpin suatu negeri, bukan menjadi isteri seorang presiden tetapi menjadi Ibu presiden yang sesungguhnya, seperti Ibu Megawati Soekarno Putri. Beliaulah salah satu contoh perempuan yang tegas, tangguh, dan berpengetahuan luas.

Itulah perempuan jaman sekarang. Perempuan yang tak hanya mengandalkan kecantikan diri dan kelemah lembutan tutur katanya untuk mendapatkan sekeping uang. Tapi perempuan yang sekarang adalah perempuan yang tegas, tangguh dan berpengetahuan luas. Dan yang jelas mempunyai pemikiran “Perempuan bukanlah orang yang lemah, perempuan mampu  lebih unggul daripada laki-laki” tentu juga tidak ada keinginan untuk mengungguli seorang laki-laki dalam menjadi imam keluarga.

Perempuan-perempuan itulah yang menjadi sosok Kartini masa sekarang. Sosok yang patut dicontoh di era globalisasi sekarang. Karena kita sebagai perempuan tidak boleh pasif, harus mempunyai inisiatif mempergunakan ilmu yang  dimiliki untuk taraf hidup yang lebih baik. Sayangkan, kalau punya banyak ilmu tapi tak dimanfaatkan?

Contoh-contoh seperti diatas tentu tak luput dari peran R.A Kartini kita. Tokoh yang terkenal dengan buku “Habislah Gelap terbitlah Terang” ini mampu menginspirasi jutaan perempuan masa kini. Betapa tidak, berkat keberanian yang didorong dengan perasaan ketikadilan antara perempuan dan laki-laki di masa itu, dimana laki-laki bisa melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya sementara perempuan tidak. Ia hanya sekolah sampai tamat SD saja lalu harus dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan dan menjadi pengurus suami dan anak dirumah. Sssst... di 2012 ini siapa yang mau seperti itu?

 Atas dasar hal itu ibu Kartini maju dan mulai melakukan tindakan-tindakan yang menghasilkan emansipasi wanita atau persamaan derajat antara perempuan dan laki-laki. Tindakannya tersebut berhasil dan mampu mengubah persepsi orangtua pada zaman itu. Mereka (orangtua) tak lagi memaksa putri mereka untuk menikah dini. Tetapi mereka membebaskan putrinya mendapatkan pendidikan setingi-tingginya.

 Selamat hari Kartini untuk seluruh perempuan di Indonesia!.


-Farah Meutia_SMA Khadijah Surabaya-