NIKAH ???
Rukun Nikah
Rukun
adalah bagian dari sesuatu, sedang sesuatu itu takkan ada tanpanya.Dengan
demikian, rukun perkawinan adalah ijab dan kabul yang muncul dari keduanya
berupa ungkapan kata (shighah). Karena dari shighah ini secara langsung
akan menyebabkan timbulnya sisa rukun yang lain.
o Ijab:
ucapan yang terlebih dahulu terucap dari mulut salah satu kedua belah pihak
untuk menunjukkan keinginannya membangun ikatan.
o Qabul:
apa yang kemudian terucap dari pihak lain yang menunjukkan kerelaan/ kesepakatan/
setuju atas apa yang tela siwajibkan oleh pihak pertama.
Dari
shighah ijab dan qabul, kemudian timbul sisa rukun lainnya,
yaitu:
o Adanya kedua mempelai (calon suami dan
calon istri)
o Wali
o Saksi
Shighah
akad bisa diwakilkan oleh dua orang yang telah disepakati oleh syariat, yaitu:
o Kedua
belah pihak adalah asli: suami dan istri
o Kedua
belah pihak adalah wali: wali suami dan wali istri
o Kedua
belah pihak adalah wakil: wakil suami dan wakil istri
o Salah
satu pihak asli dan pihak lain wali
o Salah
satu pihak asli dan pihak lain wakil
o Salah
satu pihak wali dan pihak lain wakil
Syarat-syarat
Nikah
Akad
pernikahan memiliki syarat-syarat syar’i, yaitu
terdiri
dari 4 syarat:
o Syarat-syarat
akad
o Syarat-syarat
sah nikah
o Syarat-syarat
pelaksana akad (penghulu)
o Syarat-syarat
luzum (keharusan)
1.
Syarat-syarat Akad
a). Syarat-syarat shighah: lafal bermakna ganda, majelis ijab qabul harus
bersatu, kesepakatan kabul dengan ijab, menggunakan ucapan ringkas tanpa
menggantukan ijab dengan lafal yang menunjukkan masa depan.
b).
Syarat-syarat kedua orang yang berakad:
±
keduanya berakal dan mumayyiz
± keduanya mendengar ijab dan kabul ,
serta memahami maksud dari ijab dan qabul adalah untuk membangun mahligai
pernikahan, karena intinya kerelaan kedua belah pihak.
c).
Syarat-syarat kedua mempelai:
o suami
disyaratkan seorang muslim
- istri disyaratkan bukan wanita yang haram untuk dinikahi, seperti;
ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dari bapak dan dari ibunya.
o disyaratkan
menikahi wanita yang telah dipastikan kewanitaannya, bukan waria.
2.
Syarat-syarat Sah Nikah
a).
Calon istri tidak diharamkan menikah dengan calon suami
b).
Kesaksian atas pernikahan
³ keharusan adanya saksi
³
waktu kesaksian, yaitu kesaksian arus ada saat pembuatan akad
³
Hikmah adanya kesaksian
Pernikahan mengandung arti penting dalam islam, karena
dapat memberi kemaslahatan dunia dan akhirat. Dengan demikian ia harus
diumumkan dan tidak disembunyikan. Dan cara untuk mengumumkannya adalah dengan
menyaksikannya.
³
Syarat-syarat saksi
¥
berakal, baligh, dan merdeka
¥
para saksi mendengar dan memahami ucapan kedua orang yang berakad
¥ jumlah saksi, yatu dua orang laki-laki
atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Q. S. Al-Baqoroh : 282
¥
Islam
¥
adil
c).
Lafal (Shighah) akad perkawinan bersifat kekal
Demi keabsahan akad nikah, shighah disyaratkan untuk
selamanya (kekal) dan tidak bertempo (nikah mut’ah).
3.
Syarat-syarat Pelaksana Akad (Penghulu)
Maksudnya ialah orang yang menjadi pemimpin dalam akad
adalah orang yang berhak melakukannya.
a).
Setiap suami istri berakal, baligh, dan merdeka
b). Setiap orang yang berakad harus memiliki sifat
syar’I : asli, wakil, atau wali dari salah satu kedua mempelai.
4.
Syarat-syarat Luzum (Keharusan)
a).
Orang yang mengawinkan orang yang tidak memiliki kemampuan adalah orang
yang dikenal dapat memilihkan pasangan yang baik, seperti keluarga
atau kerabat dekat.
b).
Sang suami harus setara dengan istri
c).
Mas kawin harus sebesar mas kawin yang sepatutnya atau semampunya.
d).
Tidak ada penipuan mengenai kemampuan sang suami.
e).Calon
suami harus bebas dari sifat-sifat buruk
yang menyebabkan diperbolehkannya tuntutan perpisahan (perceraian).
Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang
harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama
yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya
merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan
syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya
tidak ada atau tidak lengkap.
Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus
ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut.
Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan
bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat.
Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara
shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang
hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.
Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita
dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan
mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59,
152, Al-Mu’tamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)
Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan
lebar, sementara ruang yang ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir
dalam permasalahan rukun dan syarat ini.
Rukun Nikah
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang
dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan
suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang
haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan
penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang
lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan
dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan
oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka
Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka
Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan
oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah”
atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau
“Qabiltuha.”
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah
dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا
وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya
terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan
Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya:
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ
آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita
yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)
Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an
bukanlah sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh
lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, demikian
pula murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat yang
menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke
sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan
menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut
adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu
Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang
bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan
isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul
Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash
Al-Fiqhi, 2/283-284)
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:
Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai
wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang
khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku
nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى
تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak
musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai
dimintai izinnya.” (HR.
Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh,
maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah
kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa`
no. 1839)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ
إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya
maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri
tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia
menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat
yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas,
Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Demikian pula pendapat yang
dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz,
Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak,
Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah.
Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu
Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi
seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana
ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah
Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi,
2/284-285)
Siapakah Wali dalam Pernikahan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita
dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam
Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang
wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat
dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin
dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga
ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak
ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari
pihak ayah, dan seterusnya.
Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan
ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali
dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil
arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah,
fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib)
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk
menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya)
dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak
laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah.
Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah
saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki)
terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak
laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek
(bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari
perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah
itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah,
masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya). Wallahu
ta’ala a’lam bish-shawab.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau
walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian
atasnya4 dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ
وَلِيَّ لَهُ
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang
tidak memiliki wali.” (HR. Abu
Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih
Abi Dawud)
Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi
oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ
يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan,
tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang
berikutnya adalah memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang
pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri,
berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di
samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini
merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan
pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.
Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik
tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai
pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang
fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah
syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya,
yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti
seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara
laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang
dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah. (Fiqhun Nisa` fil
Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20,
21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan:
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang
laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali
hakim
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam
urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai
erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.
Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni
ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki
kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara
laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat
beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak
menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon
mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat
kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat
kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya
sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah,
mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua
dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak
memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita
tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada
wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah
apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim
baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang
wali tersebut.
Syarat keempat: Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil
hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua
saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah
kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’
no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan
adanya dua orang saksi yang adil.
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan,
“Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan
tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa
adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal
ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan
At-Tirmidzi, 2/284)
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan
pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil
dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai
berikut:
Pasal 24
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan
akad nikah.
2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua
orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki
muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau
tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad
nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah
dilangsungkan.
Footnote:
1 Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka.
2 Lafadz inkah yaitu ankahtuka.
3 Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur
perempuan, maka tidak dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu,
ia merupakan kerabat kita yang diperantarai dengan perempuan yaitu ibu.
Demikian pula kakek dari pihak ibu.
4 Adapun pelaksanaannya di Indonesia, lihat pada
salinan yang dinukilkan dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, buku pertama
tentang pernikahan, pasal 23.
(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No.
39/1429H/2008, kategori: Kajian Utama, hal. 23-27. Dicopy dari
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=633)