MISS YOU DEWA!
Dewa..bukalah
kedua matamu....
Pandanglah
ruang di hatiku...
Dewa..berikan
nafasmu untukku...
Agar
kuhirup bersamamu..
“OH, Dewa kenapa kamu memperlakukanku seperti ini?”
Hari
ini begitu mengecewakan. Padahal aku pikir sikapnya yang ramah pagi ini karena
dia sudah mulai menganggap kehadiranku. Nyatanya? Ada udang dibalik batu. Aku
nggak sadar kalau hari ini ada ulangan biologi dan si Dewa pasti nggak belajar.
Guess what? si Dewa minta contekan ke aku. Bimbang. Itulah yang aku
rasakan hari ini. Separuh hati merasa senang karena terlihat bak dewi penolong
“saat ujian” di matanya. Tapi separuhnya lagi kecewa, karena melihat sikapnya
seperti itu. Seperti air susu di balas dengan air tuba.
***
“Pagi
Nindy..” sapaan lembut itu mengagetkan aku yang sedang serius membuat rangkuman
pelajaran. Aku menoleh dan mendapati sosok laki-laki yang sudah lama mengisi
hatiku berada disampingku.
“Kok
diam aja?” sapanya lagi.
“Dewa,
ada apa?” jawabku sambil tersipu malu.
“Nyapa
aja, masa sesama temen gak saling menyapa?” tanyanya masih dengan suaranya yang
lembut.
“Oh.
Pagi juga, Dew..” balasku menyapa.
“Kenapa
kamu, mukanya kok merah gitu? Oya, kamu udah belajar Bio?” belum sempat aku
menjawab, “Nanti bantu aku ya. Hafalannya susah-susah sih,”
Aku
membalasnya dengan anggukan kecil lalu dia pun pergi meninggalkanku yang sedang
duduk seorang diri. Untungnya Agnes, deskmate-ku segera datang
menghampiriku dan menyapaku.
“Ndut,
tumben dateng pagi?” Ndut adalah panggilan kesayanganku dikelas. Agnes mudah
membaca mood seseorang. Mungkin dia tau kalau pagi ini aku lagi happy
mood makanya dia langsung tanya,
“Hayo,
lagi seneng ya? Eh kenapa-kenapa? Ceritain dong?” tanyanya dengan nada yang
cepat, khas seorang Agnes. Aku pun menceritakan semuanya. Seperti biasa Agnes
pasti langsung ogah-ogahan mendengar aku bercerita tentang pangeranku itu.
“Yaelah
Ndut gitu aja seneng minta ampun,” ah dasar sahabatku satu ini gak pernah
merasakan jatuh cinta kali ya? Kalau pernah, seharusnya dia tau apa yang
dirasakan seseorang ketika pujaannya menyapa seperti itu.
***
Kebahagianku
sirna beberapa jam kemudian. Awalnya pangeranku Rian begitu care terhadapku
sampai ketika bel pulang sekolah berbunyi pertanda waktu ujian Bio sudah
berakhir. Aku melihatnya langsung keluar kelas begitu usai membaca doa pulang.
Sambil berkemas aku berbincang sebentar dengan deskmate-ku setelahnya
baru aku pulang. Di koridor sekolah aku berpapasan dengannya. Betapa kagetnya
aku, dia tidak menyapaku bahkan senyumnya sama sekali tak nampak. Seperti bukan
Dewa tadi pagi. Malah, dengan asyiknya dia menggoyang-goyangkan kepala
mengikuti musik yang mengalun dari headseat-nya padahal jelas-jelas kami
bertatap muka. Lebih parah lagi sapaanku,
“Dew..”
tak digubris sama sekali. Ya Tuhan kenapa selalu seperti ini?
***
Aku
mengenal Dewa sejak 4 tahun lalu. Kebetulan dulu kami juga satu SMP. Dan selama
itu pula aku mencintainya. Entah dia sadar atau tidak. Yang jelas berita
tentang aku mencintainya itu sudah sampai ke telinga teman-teman sekelasku,
sekaligus teman sekelas Dewa. Aku Cuma berani memendam perasaan ini dalam hati
karena aku tau aku bukanlah kriteria pacarnya bahkan mungkin saja temannya.
Buktinya, kami jarang sekali terlibat pembicaraan seru. Mungkin sekali dua kali
kami saling bicara, itupun seperti sesuatu yang nggak penting. Seperti tadi
pagi. Aku minder berada disampingnya. Rasa minderku lah yang mengalahkan
keinginanku untuk berada disampingnya, walau hanya untuk berteman dengannya.
Dewa,
sosok cowok idaman di sekolahku. Dengan statusnya sebagai gitaris band didukung
dengan wajahnya yang tampan, good looking, cewek mana yang nggak klepek-klepek
coba? Kakak kelasku saja banyak yang naksir berat padanya. Sampai suatu
hari dia berpacaran dengan salah seorang kakak kelas itu. Ya Allah, hatiku
hancur mengetahui hal itu! Kesal! Aku mencoba berlapang dada, karena aku nggak
mungkin bisa membencinya. Setelah ku pikir, ada benarnya juga yang dikatakan
oleh teman-teman terdekatku bahwa Dewa mendekatiku saat ada maunya saja. Hal
itu sudah terbukti sering kali. Seperti saat Ujian Akhir Nasional SMP tahun
lalu, yang dengan mudahnya aku memberikan lembar jawabanku padanya hingga mengantarkannya
menjadi 3 besar peraih nilai UAN tertinggi di sekolah, hanya saat ujian saja
dia begitu care padaku. Tapi setelahnya bisa ditebak, Dewa
menghiraukanku.
Itulah
cinta, Itulah caraku mencintaimu, Dewa. Aku mencintaimu dulu hingga
saat ini. Sampai waktu yang tidak ditentukan, kau tetap dihatiku, Dewa.